Menampar Diri Sendiri

Sore ini saya merasa tertampar, ada-ada saja cara Tuhan untuk mengingatkan, untuk memberi petunjuk, memberi hal yang sudah seharusnya berbuah kesadaran. Saat kini saya sedang merasakan kembali inferioritas, serta proses pengecilan diri-sendiri (self-diminishment) akibat suatu hal, tanpa saya rencanakan saya membaca kembali tulisan yang pernah saya tulis lebih dari 3,5 tahun lalu. Judulnya singkat, "Inferior", namun isinya ternyata masih saja relate dengan saya. Bukan karena saja saya yang menulis itu, tapi ternyata di titik-titik tertentu rasa inferior itu memang muncul lagi. Perasaan yang mirip atau sama ketika mungkin saya menulis tulisan itu 3,5 tahun lalu.


Membaca tulisan itu, saya menyadari setidaknya tiga hal:
Pertama, bahwa ternyata perasaan inferior dan self-diminishment ini seolah kambuhan bagi saya. Barangkali saya perlu betul-betul mencari asbab timbulnya dua hal ini, perasaan seolah menjadi pribadi yang tidak berharga, tidak bermanfaat, dan lain-lain yang sungguh jelek dan bodoh betul. Ya, bodoh, sama seperti yang saya katakan di tulisan itu. Saya lantas berpikir, lha apakah perlu saya bertemu seorang profesional untuk membantu mengatasi hal ini? Inferioritas itu bikin saya tidak percaya diri, bikin saya takut ketemu orang, bikin saya rendah diri dan malu, padahal orang mungkin ya biasa-biasa saja, tidak berpikir yang aneh-aneh juga tentang saya.


Menulis masih saya yakini sebagai salah satu metode yang tepat  untuk menguraikan keresahan, juga membunuh kerumitan kata-kata di pikiran, ia lantas bisa keluar dalam kata-kata tatkala jari-jemari menari. Nikmat. Plong. Tapi itu jika betul hingga selesai menulisnya. Menguraikan pikiran yang njelimet entah kepengin bilang apa, lalu keluar begitu saja dalam kata-kata di tulisan.


Metode lain yang tak kalah nikmatnya ya berlari, kamu boleh saja berpikir karena saya seorang pelari maka saya rasakan demikian. Ya kamu tidak salah juga, namun penelitian-penelitian membuktikan bahwa berlari hingga titik tertentu dapat mengurangi stres, mengurangi beban pikiran, itulah saat-saat endorfin kita dirilis. Candaan "lari dari kenyataan" yang entah berapa kali saya dengar memang menjengkelkan, karena yang lebih tepat adalah berlari ketika ada masalah atau beban pikiran. Candaan yang lebih tepat dan lebih lucu ya "semakin jauh jarak dia berlari, semakin besar masalah yang tengah ia hadapi".


Ketika berlari, saya berdialog dengan diri sendiri, memikirkan ini-itu, berbagai macam hal hingga pada titik tertentu keresahan atau kegundahan itu hilang. Tentu, masalah yang sebenarnya tidaklah hilang, tapi perasaan dan hati kita lebih nyaman, serta pikiran kita semakin jernih. Saya bersyukur soal lari ini, tapi soal menulis ini yang lagi dan lagi, harus dan harus saya biasakan kembali.


Hal kedua, bahwa ternyata kualitas saya di beberapa hal masih begitu-begitu saja, atau hanya meningkat sedikit dalam beberapa tahun. Ada orang bilang kalau kita membaca tulisan lama kita dan kita masih tertegun, barangkali memang kualitas tulisan kita belumlah meningkat. Ketika saya membaca tulisan saya bertahun-tahun lalu itu, rasa "tertegun" itu ya ada, ada semacam "loh kok dulu bisa menulis yang seperti itu?" Saya lantas berefleksi, oh tentu saja, input yang saya terima kala itu barangkali jauh lebih baik dan berkualitas daripada sekarang. Setidaknya dua hal, buku-buku yang saya lahap dan efek rutinan Maiyahan masih melekat. Daripada hal pertama, hal kedua ini yang rasanya cukup sulit saat ini, dengan berbagai alasan atau faktornya. Di satu titik, soal urusan fisik saya meningkat, tapi urusan jiwa, urusan pikiran, saya khawatir ada kemunduran. Tentu mestinya tidak perlu banyak berbicara, lakukan saja.


Sementara hal ketiga adalah yang kita tulis di masa lalu bisa jadi adalah hal yang masih akan kita rasakan di masa depan. Saya merasa seolah menulis untuk diri saya di masa depan, seolah kala itu saat saya menulis saya berkata "mungkin di masa depan, di entah kapan, kamu akan merasakan hal yang serupa, maka tulisan ini lahir, tak hanya untuk mengurai keresahan dan kegundahan saat ini, namun untuk masa depan, kala kamu merasakan hal yang serupa."


Barangkali saya harus berterima kasih kepada diri saya di masa lalu, yang telah  menulis sekian tulisan, yang sore ini saya baca kembali, yang berhasil menampar saya, akan berbagai macam hal. Tentu tidak ada ketidaksengajaan melainkan Tuhan sudah kasih jalannya, entah dari jalur mana, yang jelas saya melaluinya dan menemukannya. Rasanya tepat bagi saya untuk mengatakan kepada diri saya sendiri, "teruslah berusaha untuk menulis, mungkin bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu, entah di masa ini, atau di masa depan."

Sekian, alhamdulillah.

No comments: