Cerita tentang Berlari (1)


Mereka yang pernah dan sedang menekuni lari mungkin sepakat, olahraga ini dapat direfleksikan ke berbagai hal, termasuk ke wilayah kehidupan. Bagaimana lari begitu lekat dengan arti daya tahan, disiplin, konsistensi, semangat, penuntasan, daya juang, dan berbagai hal lain. Tentu, lari jarak berapapun bisa untuk direfleksikan ke dalam kehidupan. Namun, jika ada satu jarak yang sangat mencerminkan hal itu, tiada lain adalah jarak Marathon (42,195KM). Mereka yang pernah berlari marathon, tentu dengan latihan panjangnya, merasakan betul apa itu disiplin, kerja keras, termasuk ketakutan cedera hingga gagal mulai (Did Not Start/DNS) atau gagal selesai (Did Not Finish/DNF).

Juli ini saya menyelesaikan Marathon kedua saya, di tempat dan rute yang sama, namun dengan catatan hasil yang jauh lebih baik dan memuaskan, meski tentu dengan beberapa catatan. Menggelikan kadang, kadang sebagian orang tidak mengerti juga: anda lari jauh-jauh sepanjang 42.195 kilometer, bayar pula dengan harga yang tidak murah. Namun, bagi mereka yang mengerti, terlebih yang mengalami, Marathon lebih dari berlari sepanjang jarak tersebut. Jika, soal masalah bayar mahal berarti membeli rute, pengamanan, kenyamanan, serta refreshment sebelum, saat, dan setelah lari, nilai yang didapat pelari marathon lebih besar dari itu.

Saya berlatih sekitar sejak tujuh bulan sebelum lomba, dengan tiga bulan awal penyesuaian intensitas lari (3-4x sepekan) yang dipuncaki dengan time trial 5K sebelum Ramadhan. Latihan lalu sangat berkurang di Ramadhan lalu mulai kembali empat bulan jelang lomba. Empat bulan latihan dengan training plan yang ketat. Berlatih 3-5x sepekan, dengan berbagai volume dan intensitas latihan: easy run, long run, fartlek, interval training, tempo run, treshold run dan lainnya. Lelah letih latihan lalu dihajar harap cemas karena cedera akibat kebodohan: tidak menggunakan sepatu yang tepat. Cedera yang menganggu dan berjarak kurang dari sebulan jelang lomba. Ketakutan akan DNS sempat muncul, hingga akhirnya sepekan jelang lomba, kondisi begitu membaik, dan bisa mengikuti lomba sesuai jadwal. Saya tak akan menceritakan bagaimana detail lomba, singkatnya saya berhasil finish dengan catatan waktu 20 menit lebih cepat daru marathon pertama saya, hasil yang memuaskan.

Lalu saya ingat, jauh sebelum ini, empat tahun silam di ajang yang sama, saya menyaksikan mereka yang finish Marathon di garis finish. Wajah haru, sumringah, tangis, dan sebagainya bercampur aduk. Saat itu saya hanya bisa berharap, semoga suatu saat saya bisa finish di jarak itu, merasakan rasa haru, sumringah, tangis bahagia yang mereka rasakan. Tentu saja, ini sepaket dengan rasa sakit, letih, lelah dalam berlatih. Mungkin perasaan yang sama ketika saya finish lomba 5K untuk pertama kali, lalu melihat mereka yang bisa berlari dan finish di jarak 10K. Tahun lalu akhirnya saya pertama kali merasakan itu, hasil latihan yang dilahap berbuah rasa bahagia dan haru. Begitu pula dengan tahun ini.

Saya selalu berkata, berlari terlebih Marathon adalah suatu pembukitian kepada diri sendiri, bahwa saya bisa melakukan sesuatu, melakukan hal yang begitu berani, karena lari dengan jarak sejauh itu cukup ekstrem dan bisa mengancam jiwa. Sebuah pembuktian bahwa saya bisa mencapai sesuatu, sesuatu yang diraih dengan kerja keras, yang dibayar tuntas dengan selesai di rentang waktu yang ditentukan.

Jika direfleksikan ke dalam kehidupan, saya belajar banyak. Seseorang berkata, mereka yang pernah berlari Marathon dengan segala latihannya, mestinya menjadi pribadi yang lebih tahan banting, menjadi pribadi yang lebih tahan untuk bekerja keras, untuk disiplin, dan siap dengan banyak hal yang tak terduga. Marathon mengajari saya untuk tidak menyerah, untuk menyelesaikan apa yang dimulai, untuk terus melaju hingga batas kemampuan. Di sisi lain Marathon mengajari saya untuk tahu batas kemampuan, untuk tahu kapan berhenti, untuk tahu kapan terus lanjut. Karena konon dalam hidup harus tahu kapan menginjak pedal gas, kapan menginjak rem.

Berlari bahkan bagi mereka non-atlet atau non-elite, akan selalu memilik arti tersendiri. Jika untuk atlet, lihat saja momen terdekat kemarin saat Berlin Marathon (salah satu dari enam World Marathon Majors), bagaimana begitu berartinya berlari dan tentu saja menang dalam lomba itu.
Bagi mereka pelari rekreasional, akan bermacam-macam lagi. Ada mereka yang menjadikan lari sebagai me-time, waktu untuk berbicara dengan diri sendiri. Ada juga yang upaya untuk sembuh dari sakit, upaya untuk kesehatan mental, dan lain sebagainya.

Maka, pada akhirnya lari tidak sesederhana itu, meski kini seringkali ditampilkan dengan gemerlap running gear dan mahalnya biaya lomba, namun tetap, pada dasarnya berlari, terlebih Marathon, memiliki arti yang lebih besar dari sekadar bergerak dan berolahraga.


No comments: