Inferior

Berkali-kali kurasakan inferioritas, titik saat merasa diri begitu rendah, saat seolah hal kekurangan bertumpuk pada dirimu. Inferior, atau istilah yang lebih familiar dan mungkin maknanya serupa adalah insecure. Titik inferior ini bahaya, membuat diri tidak bergairah, merendahkan diri, menekan diri hingga titik yang begitu bawah, celakanya malah terkadang dinikmati. Pengalaman indekos di ibukota meski hanya dua tahun lebih selalu teringat. Meski banyak hal-hal baru yang dinikmati dan disyukuri, saat-saat sepi, kosong, dan sendiri di kamar kos tidak jarang memicu inferioritas, proses pengecilan diri sendiri (self-diminishment) terjadi.

Ada kala berupa tak ada teman yang betul-betul, ada kala berwujud rasa diri aneh dan berbeda (dalam arti negatif) dari orang lain. Terkucilkan, bukan oleh orang lain melainkan diri sendiri, mengucilkan. Bodohnya hal demikian kadang malah sengaja dipelihara hingga menuju satu pikiran: perlu pengakuan serta apresiasi,  nah kan bodoh.

Hal-hal demikian sudah semestinya dihindari dan dijauhi. Bila Dia yang mengenggam nyawa kita berkata bahwa tidak ada perbedaan antara manusia kecuali takwa (duh, istilah ini bahkan mesti diurai!). Pun bila sang Rasul berkata bahwa tidak ada ada kelebihan bagi suatu suku/bangsa/golongan/ras atas lainnya, maka sudah selayaknya hal begini ini hilang saja atau diminimalisasi sebisa mungkin.

Berhari lalu dalam sebuah buku ada tulisan yang menarik tentang haji, meski demikian ada hal yang berlaku di luarnya dan cukup relevan dengan soalan ini. Sebuah kesadaran primer, begini, tidak peduli engkau siapa dengan segala jabatan, posisi, gelar atau titelmu, "pencapaian tertinggi adalah menjadi manusia segala jabatan, kedudukan, fungsi, dan titik orbit sosial manusia... semua itu menjadi kendaraan dan peralatan untuk memperjuangkan agar seseorang lulus menjadi manusia."

Begini yang kupahami, siapapun kamu, yang terpenting adalah kamu berjalan sesuai dengan jalurmu, orbitmu, bentukanmu. Maka, langkah awal yang tepat adalah mengenali diri sendiri, mengenali kapasitasnya, kelebihan, kekurangan, potensi.

Bila kamu burung, berlakulah burung. Bila kamu harimau, berlakulah harimau, janganlah sejatinya kamu harimau tapi malah berlaku burung.

Kita ini lahiriahnya sama-sama manusia, tapi "jadi apanya kita" ini hal yang unik, yakni tidak sama antara orang satu dnegan yang lainnya. Saat kamu adalah "kucing", berlakulah "kucing", lalu ternyata kamu mengenali dan memahami bahwa kamu adalah "elang", maka berlakulah "elang". "Elang" dan "kucing" memiliki sifat, karakteristik, perilaku, kapabilitas serta potensinya masing-masing,

Bila sudah mengetahui, mengerti serta memahami, maka berjalanlah di koridormu sendiri, di jalur orbitmu sendiri. Jangan melenceng karena bisa melebar entah ke mana lalu hancur, hilang. Jaga tetap di jalurmu. Peganglah kesadaran semacam ini, dengan demikian kamu tidak perlu merasa merendah, mengucilkan dan mengecillkan diri di antara yang lain. Sebab, masing-masing memiliki "jadi apanya kita" yang mesti ditemukan. 

Temukanlah maka tenanglah. Kamu yang "kucing" tidak akan tertukar apapun dengan yang "elang" asalkan tidak memaksakan menjadi "elang", padahal kamu "kucing."

No comments: