Tadabbur Ihsan

Apa itu Ihsan?

Ahmad Fuad Effendy (Cak Fuad) dalam tadabbur Q.S. Al-Qashash: 77 menjelaskan bahwa, "Ihsan bukanlah kebaikan biasa. Ihsan adalah kebaikan di atas kebaikan. Sebagaimana Allah telah berbuat Ihsan kepada manusia, yaitu tetap memberirahmat kepada semua manusia termasuk manusia itu ingkar dan kufur kepada-Nya. Demikian juga manusia yang tergolong sebagai muhsinin, dia tetap memberi meskipun tidak diberi ucapan terima kasih, mau memaafkan meskipun disakiti, mau berbagi meskipun kebutuhannya tidak terpenuhi. Ihsan adalah memberi lebih dari yang menjadi kewajibannya, dan mengambil kurang dari yang menjadi haknya. Perbuatan Ihsan ini pahalanya langsung menjadi tanggungan Allah tanpa perhitungan. Al-Muhsinun adalah orang yang sangat dicintai oleh Allah."


Ada dua ayat yang saya sukai yang berkaitan dengan ihsan, yakni Q.S. Ar-Rahman ayat 60, 

Hal jazā`ul-iḥsāni illal-iḥsān.

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).


dan Q.S. Al-Isra ayat 7,

In aḥsantum aḥsantum li`anfusikum.

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri



Dua ayat yang ketika dibaca kembali seringkali memberi dorongan untuk teruslah berbuat baik, bahkan sebisa mungkin berbuat kebaikan hingga level ihsan. Balasan kebaikan apa yang bisa didapat saat kita berbuat ihsan? Ialah kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Kebaikan yang dilakukan akan kembali kepada mereka yang berbuat kebaikan. Sejalan dengan konsep bahwa saat memberi kepada orang lain atau pada yang membutuhkan, sesungguhnya kita sedang "memberi" kepada diri sendiri.


Tentu, tanpa pamrih mesti diusahakan, cukuplah mengharap kebaikan di sisi Allah, atau malah "ya sudah, berbuat baik ya berbuat baik, tidak perlu memikirkan apa balasannya." Saya dulu beranggapan kebaikan yang mungkin didapatkan di dunia ini akibat dari kebaikan yang kita perbuat mayoritasnya adalah sesuatu atau hal atau benda atau apapun yang nantinya bisa diterima. Pola pikir materialistis dan begitu kalkulatif. Padahal, kebaikan yang diterima bisa bermakna luas, termasuk ketenangan hati dan rasa syukur saat bisa memberi atau membantu orang lain. 


Rasa syukur ini juga sebuah nikmat, sebuah kebaikan yang kembali kepada kita. Mengapa rasa syukur pun dapat menjadi sebuah nikmat? Saat Sulaiman 'alaihissalam melihat singgasana Bilqis yang muncul di depannya, beliau berkata sebagaimana disebutkan di Q.S. An-Naml: 40,

Hāżā min faḍli rabbī, liyabluwanī a asykuru am akfur.
Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya) 


Kemampuan bersyukur pun adalah sebuah kenikmatan, hingga ada doa yang beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran, salah satunya sebagaimana yang diucapkan Sulaiman 'alaihissalam di Q.S. An-Naml: 19,


Rabbi auzi'nī an asykura ni'matakallatī an'amta 'alayya wa 'alā wālidayya wa an a'mala ṣāliḥan tarḍāhu wa adkhilnī biraḥmatika fī 'ibādikaṣ-ṣāliḥīn.

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh



Sebuah doa agar kita terus diberi ilham untuk mensyukuri nikmat-Nya, karena tentu begitu banyaknya nikmat-Nya yang tak terhitung hingga berulang kali Allah berfirman dalam Q.S. Ar-Rahman,

Fa bi`ayyi ālā`i rabbikumā tukażżibān.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?


Ayat yang berulang-ulang di satu surat yang hendaklah kita jawab, "Tidak ada, tidak ada satu pun nikmat-Mu yang kami dustakan, segala puji bagi-Mu." Allah menjanjikan karunia bagi mereka yang bersyukur (Q.S. Ibrahim: 7), 

La`in syakartum la`azīdannakum wa la`ing kafartum inna 'ażābī lasyadīd.

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih



Maka, teruslah berbuat baik dan bersyukur, dengan hanya mengharap kebaikan dari sisi Allah. Hendaknya lah kita menjadi orang yang untuk diri sendiri melupakan kebaikan dan mengingat hal buruk yang pernah dilakukan agar menjadi orang yang mawas diri, juga hendaklah mengingat kebaikan-kebaikan orang lain dan sebisa mungkin tidak mengingat atau mengungkit keburukan-keburukan orang lain. Ini bukan perkara mudah, namun teruslah persiapkan kondisi hati dan pikiran kita dalam keadaan seperti itu.


Berbuat baiklah, bersyukurlah. Lalu andai seseorang berbuat baik kepadamu dan kamu tidak sanggup membalas kebaikannya, maka hendaklah lakukan kebaikan yang serupa atau lebih baik lagi kepada orang lain yang juga membutuhkan. Sehingga semoga menjadi kebaikan yang beruntun, menjadi rantai kebaikan, dan menjadi kebaikan di atas kebaikan, menjadi ihsan.


Semoga Allah mudahkan dan senantiasa memberi petunjuknya pada kita dan kita pun mau dan mampu mengikutinya.
Demikian.

No comments: