Dua Buku Sebelum Maiyahan


Saya sempat -dan barangkali masih- mengalami reading slump yang menyebalkan, terhenti membaca buku-buku. Jangan tanya kenapa, reading slump memang begitu, kadang enggak jelas, pokoknya sedang malas baca saja. Bisa jadi karena bosan, bisa jadi karena jenuh, atau tidak suka dengan topik yang dibaca, dan sebagainya.


Konon, salah satu cara mengatasinya adalah dengan membaca jenis buku yang disuka, atau ya penulis yang disuka. Tentu masih banyak cara lainnya. Saya memilih cara itu. Terseok betul saya untuk mau baca buku lagi. Pilihannya "tidak mengejutkan", ya baca buku Simbah (Mbah Nun) lagi. Meski ada rasa "baca buku Simbah terus", tapi ya tak apa-apa lah daripada tidak sama sekali. Sudah mau mulai baca lagi saja sudah lumayan kok.


Nah, dua buku Simbah ini yang terakhir kali saya selesai baca, dan menjadi pilihan yang tepat bagi saya. Dua buku yang sedikit berbeda, meski sama-sama dihimpun dan dikelompokkan dari berbagai tulisan Simbah. Dua buku yang ringan namun terasa lebih dekat dan personal.


Mbah Nun Bertutur seperti tertulis di sampul bukunya, bercerita banyak mengenai Teater Dinasti, Gamelan Kiai Kanjeng, hingga Maiyah. Meski begitu, porsi Teater Dinasti beserta orang-orang di dalamnya serta masa awal-awal Simbah di Jogja lebih banyak. Ada cerita Simbah yang berpindah-pindah tempat selama di Jogja, juga tentang beberapa orang yang berperan penting di masa mudanya. Saya lupa siapa saja, tapi bila mau baca beberapa tulisan mengenai Pak Nevi Budianto, Sang Maestro KiaiKanjeng, kita bisa menemukannya di sini.


Sedang Mereka yang Tak Pernah Mati lebih banyak bercerita tentang mereka yang dekat dengan Mbah Nun, yang kemudian beliau tulis tentang mereka-mereka ini. Tak melulu mereka yang telah meninggal, seperti misalnya Syaikh Kamba, Kiai Muzammil, dan Umbu Landu Paranggi, namun juga untuk mereka yang masih hidup menemani Simbah dan Jamaah Maiyah, katakanlah Sabrang MDP (Noe), anak beliau sendiri.


Tulisan tentang Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy, kakak kandung beliau) ditulis beberapa kali dan cukup panjang. Tulisan yang menggambarkan betapa dekat dan berjasanya Cak Fuad bagi Mbah Nun, dan tentu saja Jamaah Maiyah, karena beliau jugalah Marja' Maiyah, yang menjadi rujukan bagi Jamaah Maiyah.


Saya membaca buku yang tepat, di masa kerinduan bertatap muka melingkar di majelis-majelis Maiyah yang lebih dari dua tahun tidak saya ikuti, baik karena pandemi ataupun jarak yang lumayan juga.

Dua buku ini bagi saya terasa sangat dekat dan personal, cukup memuaskan saya untuk mengetahui lebih banyak tentang Mbah Nun. Tulisan-tulisannya di kedua buku ini menggambarkan sekilas perjalanan beliau serta mereka yang dekat dan mungkin berkesan baginya.


Semoga pula menjadi sebuah lecutan untuk kembali membaca, bukan untuk gimana-gimana, sekadar untuk menjaga pikiran.


***


KA Cikuray, 13 Agustus 2022, di perjalanan untuk membayar rindu menuju Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta.

No comments: