Pandemik

Mestinya ini mulai kutulis satu pekan yang lalu, namun karena berbagai hal (katakanlah menunda-nunda), sehingga baru dapat kutulis pekan ini. Satu pekan cukup untuk menambah rasa, suasana, dan pengetahuan terkait yang akan kutuliskan. Tentu saja, informasi atau tulisan mengenai ini dengan berbagai sudut pandang dan gaya bahasa telah banyak tersebar. Aku ingin menuliskannya sebagai semacam rekaman di masa depan (buatku).. sebagai pengingat untukku, bahwa ada peristiwa yang begitu mengubah (mungkin untuk sementara) banyak hal dan kebiasaan di dunia.

Pandemik.
Seingatku pemberitaan mengenai "suatu gejala seperti pneumonia di Tiongkok" ini mulai muncul tak lama setelah ribut-ribut Natuna akhir tahun lalu. Pemberitaan yang masih tipis terdengar lalu sedikit demi sedikit semakin mulai terdengar seiring meningkatnya jumlah penderita di Negeri Tirai Bambu itu. Merebak, hingga konon pada Januari 2020, seorang pekerja di Jakarta mengidap gejala serupa yang lalu terkonfirmasi bukan sebagai pandemik itu. Tak perlu rasanya kujelaskan lebih detail mengenai gejala dan sebagainya, toh banyak tulisan dengan validitas tinggi yang bisa dibaca.

Menyebar dan menyebar, beberapa daerah di Tiongkok diberlakukan kebijakan Lockdown, istilah yang beberapa pekan kemudian menjadi familiar di telinga rakyat negeri ini. Kebijakan yang membuat kota-kota tampak bagai kota mati, penduduk tak bisa keluar ataupun masuk ke dalam kota, barangkali perlu izin khusus sehingga bisa masuk atau keluar kota. Ratusan orang lalu dipulangkan dari Tiongkok kembali ke Indonesia dengan lebih dulu dikarantina 14 hari di Natuna (ah kembali disebut juga daerah ini).

Berbagai berita dan kabar kala itu menunjukkan bahwa pemerintah negeri ini lebih berfokus kepada ekonomi dan pariwisata alih-alih pada antisipasi penyebaran pandemik itu ke dalam negeri. Kebijakan yang lalu menjadi sasaran empuk bagi para kritikus, para pembenci (haters) penguasa dan tentu saja pemerhati negeri ini.

Kala Indonesia panas dengan perang opini, pandemik semakin menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sekian pekan kemudian beberapa atlet dan pesohor tak luput dari virus ini, dunia semakin geger. Virus yang konon (pada saat itu diberitakan) akan menyerang mereka yang berada dalam kondisi tidak fit dan imunitas kurang baik, nyatanya mengenai pula atlet-atlet sepakbola yang notabene selalu menjaga kondisi tubuh mereka. 

Boom.
Pandemik, virus menyebar ke berbagai penjuru dunia. Awal Maret lalu terkonfirmasi kasus positif di negeri ini, barulah lebih terkaget-kaget kita. Dunia "bermasker". Liga-liga sepakbola di Eropa lantas diberhentikan hingga waktu yang belum ditentukan, setidaknya sampai pandemik berakhir. Umrah ditiadakan, areal sekitar Kakbah dikosongkan, membuat sedih muslimin di dunia. Masjidil Haram dibersihkan secara khusus.

Indonesia?
Terlambat mengantisipasi? Bisa jadi. Orang bilang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, namun, seberapa terlambatkah? Apa yang lalu mesti dibayar?

Pemerintah pusat dan daerah di negeri ini lalu bereaksi. Ibukota menjadi yang pertama mengalami dampak besar dari virus ini. Sekolah-sekolah ditutup sementara, kebijakan "belajar di rumah" diberlakukan. Kebijakan "apa-apa di rumah" lalu diterapkan ke berbagai sektor. Perkuliahan beralih ke metode daring, dunia usaha pun tak luput, perusahaan-perusahaan mesti menerapkan "bekerja dari rumah" untuk para pegawainya, mulanya sebagian, kini seluruhnya kecuali sebagian kecil, seminimal mungkin.

Ibadah pun tak luput dari kebijakan ini, para agamawan berkumpul, berdiskusi lalu mengeluarkan fatwa agar beribadah di rumah, tak hanya satu agama. Kebijakan yang bisa diterima sebagian kalangan sekaligus tak bisa (atau belum) diterima sebagian kalangan lain. Shalat Jumat ditiadakan, shalat fardhu berjamaah di Masjid ditiadakan, diberlakukan shalat sendiri-sendiri atau bahkan lebih baik shalat di rumah. Mengubah kebiasaan.

Di suatu masjid di Ibukota, seorang Imam mengumumkan sebakda Shalat Maghrib, katanya Shalat Jumat akan ditiadakan setidaknya dua pekan ke depan (yang mungkin bisa jadi lebih dari dua pekan melihat kondisi yang tak kunjung terlihat membaik), begitu pula shalat fardhu, namun tentu saja adzan akan tetap dikumandangkan. Seorang bapak tua lantas memprotes, bagaimana bisa Shalat Jumat yang fardhu itu ditiadakan? Sang Imam berkata bahwa dalam kondisi darurat seperti ini hal demikian telah sesuai dengan contoh dari Nabi, sedikit ada sanggahan lagi dari sang bapak yang lalu kembali diberi jawaban yang serupa. Desir, dapat kupahami perasaan si bapak tua itu, barangkali belasan-puluhan tahun ia shalat fardhu berjamaah di Masjid, namun kini ia tak bisa melakukannya untuk sekian waktu ke depan yang entah hingga kapan. Itu pula barangkali yang dirasakan berbagai orang. Sangat dapat dipahami, sangat. Tapi memang umat menjadi belajar, ada kaidah fiqh yang diterapkan terkait kondisi darurat.

Social distancing kata orang, upaya membatasi kerumunan publik untuk mencegah penyebaran virus ini. Istilah yang lalu menyebar ke berbagai penjuru negeri, "jaga jarak" dalam bahasa sederhananya. Istilah yang kemudian berubah menjadi physical distancing.

Ibukota lantas menjadi sepi, pusat perbelanjaan lengang, jalanan jauh dari kata macet, hiruk-pikuk Ibukota entah ke mana, semua diminta berdiam di rumah. Kebijakan yang memang mesti dilakukan ini berdampak langsung utamanya bagi pekerja harian, ojek daring contohnya, kini semakin sepi pesanan kata mereka.

Banyak lagi yang bisa kuceritakan dari pandemik ini, semenjak kasus positif pertama terkonfirmasi di negeri ini, orang-orang mulai kalap membeli persediaan bahan makanan dan.. pembersih tangan (hand sanitizer) yang lalu merambah ke masker hingga bahan-bahan untuk membuat pembersih tangan sendiri, harga melonjak.

Ah, maaf, tentu saja tak hanya hal-hal yang terkesan negatif dan mengerikan yang terdengar dari akibat pandemik ini. Orang kita tanggap dalam menginisiasi dan berpartisipasi dalam penggalangan dana, berbagai platform digunakan untuk menggalang dana, nantinya akan dibelikan untuk keperluan tenaga medis, baik nutrisi mereka ataupun alat pelindung diri. Selain itu, sebagian penggalang dana mengalirkan hasilnya pada mereka yang terdampak langsung, seperti pekerja harian tadi. Rasa optimis pun mesti ditanamkan di tengah berbagai gempuran kabar tak mengenakkan terkait pandemik ini.

Harap cemas semoga pandemik segera berakhir dengan membawa kebaikan dan kebiasaan baik dari hasil "pendidikan" selama pandemik ini.




Jakarta, 25 Maret 2020

No comments: