ODP
Keadaan belum terlihat akan membaik, Ibukota nampaknya akan lebih sepi seiring berbondong-bondongnya para perantau kembali ke kampung halamannya masing-masing. Pemerintah asal para perantau meminta agar mereka tetap berada di Ibukota, tidak perlu kembali ke kampung halaman. Himbauan hanyalah himbauan, para perantau tetap kembali, bisakah disalahkan? Tidak sepenuhnya. Bagi pekerja kantoran atau mereka yang mempunyai penghasilan yang lebih stabil, satu-satunya kesulitan barangkali menahan rindu dengan orang di rumah atau suasana di kampung halaman, tetapi bagi mereka yang bekerja harian yang tak bekerja sehari maka mereka tak dapat uang di hari itu, menetap di Ibukota tanpa pemasukan yang berarti amatlah sulit. Di kampung barangkali mereka bisa lebih tenang, tentu saja kondisi sosial masyarakat di kampung lebih menguntungkan mereka, karena selain telah saling kenal, keguyuban masyarakat dalam hal membantu sesama lebih terasa dibanding di perkotaan.
Selain dua jenis tadi, ada jenis lain yakni seperti saya sendiri, ialah mereka yang sebelumnya untuk sementara waktu ditugaskan di Ibukota dengan tempat tinggal disediakan oleh perusahaan, diminta untuk kembali ke daerah masing-masing karena kondisi Ibukota yang tidak memungkinkan untuk bertugas di sana. Di satu sisi tentu tak ingin langsung pulang karena dari Ibukota sebagai daerah sentral penyebaran virus di negeri ini, di satu sisi tak bisa untuk terus tinggal di Ibukota, maka mau tak mau mesti kembali ke daerah asal.
Apakah nyaman? Tunggu dulu, kembali ke daerah asal setelah sebelumnya berada di Ibukota membuat status kami menjadi ODP (Orang Dalam Pemantauan), mestinya memang melapor ke RT/RW atau bahkan Puskesmas setempat, namun kewajiban paling utama adalah mengisolasi diri selama empat belas hari ke depan. Apakah nyaman? Ketidaktahuan akan bagaimana pandangan warga sekitar bila ada orang kembali ke daerah mereka setelah sebelumnya berasal dari daerah sentral penyebaran virus membuat isolasi diri menjadi satu-satunya pilihan. Saya hanya keluar gerbang untuk buang sampah. Untungnya, kondisi rumah yang memiliki balkon di lantai atas memungkinkan saya untuk tetap terkena sinar matahari sewaktu-waktu.
"Untungnya" kebijakan Work From Home dan "apa-apa di/dari rumah" sedikitnya membantu menangani kebosanan yang kemungkinan besar dirasakan nantinya. Meski "libur" tapi tidak bisa keluar ke mana-mana, bahkan bila nanti masa isolasi diri telah selesai pun, physical distancing atau jaga jarak mesti tetap dilakukan. Hari-hari informasi mengenai penyebaran virus dan upaya penanganannya oleh pemerintah menjadi makanan sehari-hari, setidaknya pagi dan sore/malam. Bagi sebagian orang sepakbola adalah hiburan, namun sekarang tidak ada sepakbola untuk sementara waktu. Hari-hari seolah menuju "normal yang baru".
"Normal yang baru", bisa saja terjadi sekian periode ke depan, entah bulan atau tahunan -yang jelas setelah pandemik ini berakhir. Kebiasaan selama isolasi diri dan jaga jarak bisa menjadi kebiasaan baru, bahkan menunjukkan bahwa ada beberapa bidang pekerjaan yang memungkinkan untuk dikerjakan dari rumah atau secara remote.
Yah.. sambil memperhatikan apa yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pandemik ini, mari meneruskan isolasi diri dan sedikit-sedikit berdonasi.
Bandung, 31 Maret 2020
No comments: