Tentang 27 Rajab

Tepat 27 Rajab, hari di mana mayoritas ahli menyebutkan di tanggal inilah Isra dan Mi'raj Nabi shalallahu'alaihi wa salam terjadi. Secara garis besar, isra adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, sementara Mi'raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsa ke langit dunia hingga terus pada akhirnya mencapai Sidratul Muntaha, di mana beliau menerima perintah shalat fardhu lima kali dalam sehari.


Ini adalah informasi yang kita dapatkan dari tahun ke tahun, termasuk riwayat tentang Sang Nabi yang mengimami para nabi terdahulu di Masjidil Aqsa, lalu bertemu beberapa nabi di berbagai tingkatan langit. Lalu, ditunjukkan pula kepada beliau keadaan penghuni Neraka dan penghuni Surga. Perjalanan yang diantar oleh Jibril ini terhenti sebelum Nabi ke Sidratul Muntaha, yang hanya beliau lah yang diizinkan atau bisa ke sana.


Mengetahui riwayat ini, lalu pertanyaan berikutnya selalu dilontarkan: sudah sejauh apa pemaknaan kita akan peristiwa ini, terlebih sudah sejauh mana pemaknaan dan pelaksanaan sholat kita sebagai perintah yang langsung disampaikan kepada Nabi tanpa melalui perantara malaikat. Hal ini yang seringkali dibahas dan didalami di berbagai kajian seputar Isra-Mi'raj. Di usia saya sekarang ini, tentu sudah sering saya dengar soal itu, namun saya kira ada hal lain yang saya dapat kali ini.


Peristiwa ini dipercayai mayoritas ahli, terjadi di masa "tahun kesedihan" bagi Sang Nabi. Saat pendukung-pendukung utama beliau dalam berdakwah meninggal dunia. Khadijah binti Khuwailid, istri beliau yang sudah tak terhitung pengorbanan dan perjuangannya untuk Nabi dan Islam, lalu Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang -dipercayai berbagai riwayat tetap dalam keadaan musyrik hingga akhir hayatnya- berada di garis depan untuk melindungi dakwah Nabi juga meninggal dunia. Tentu, belum lagi tantangan-tantangan lainnya saat berdakwah.


Di masa-masa sulit ini, Allah memperjalankan beliau shalallahu'alaihi wa salam dalam perjalanan semalam, dengan berbagai peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya. Terlebih bertemu langsung dengan Allah, sang Khaliq, tentu menjadi penyembuh dari tahun kesedihan dan berbagai macam hal-hal sulit yang dihadapi Sang Nabi sebelumnya. 

Di sini, saat kita mendengar atau membaca riwayat Sang Nabi di Sidratul Muntaha, jangan kita bayangkan Allah bertempat di sesuatu. Dia adalah "laitsa kamitslihi syai'un", atau tidak bisa diserupakan dengan apapun. Maka tentang Allah, apapun itu tidak bisa kita bayangkan, karena sekali kita bayangkan maka bayangan kita tentang Dia itu batal. Riwayat yang sampai pada kita pun menyebutkan janganlah kita berpikir tentang Dzat Allah, tapi berpikirlah dengan apa-apa yang diciptakan-Nya. Berhenti di apa-apa yang diciptakan-Nya yang begitu banyak ini sudah cukup untuk merasakan kehadiran-Nya. Godaan untuk memikirkan Dzat-Nya berasal dari bisikan syaithan yang menipu daya.


Mi'raj yang sejatinya hanya bisa dilakukan oleh Sang Nabi, bisa saja dilakukan oleh umatnya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa "mi'rajnya seorang mukmin adalah dalam shalatnya", atau seperti kata Kiai Haris Hakam, di shalat itulah kita beraudiensi dengan Allah. Shalat fardhu yang lima kali dalam sehari ini seolah dipadatkan sekian rupa untuk kita "bermi'raj" dan "menemui" Allah dalam shalat.

Terlebih, seperti yang dikatakan pula, bahwa saat-saat terdekat seorang hamba dengan Rabbnya adalaah saat sujud. Di sinilah lagi-lagi pertanyaan sudah sejauh mana pemaknaan kita terhadap shalat, sudah sebaik apa pelaksanaan shalat kita, dan sudah seberpengaruh apa shalat itu dalam kehidupan kita. Inilah yang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang mesti kita pikirkan dan kita jawab.


Hal lainnya adalah, bahwa apa yang perjalanan yang cepat yang Nabi lakukan dalam semalam itu terdengar mustahil pada masa itu. Entah berapa lama semestinya perjalanan dari Mekkah ke Baitul Maqdis saat itu baik di situasi normal atau di situasi paling cepat. Tapi beribu tahun kemudian, perjalanan yang cepat dari Mekkah ke Baitul Maqdis ini memungkinkan, atau malah ke tempat yang lebih jauh lagi ini memungkinkan untuk ditempuh bahkan kurang dari semalam.

Maka, begitu pula perjalanan sang Nabi dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha juga bukan hal yang patut untuk diragukan, karena yang terjadi adalah ketidakmampuan akal untuk memahaminya. Ketidakmampuan inilah yang menjadi batasan dan seyogyanya memang menjadi batasan manusia, hingga ia kembalikan lagi kepada wahyu atau periwayatan yang sampai padanya. Begitu banyak hal yang tidak terbayang yang memang harus menjadi limit manusia, menjadi limit makhluk, karena inilah salah satunya yang membedakan antara makhluk dan Khaliq, antara yang diciptakan dan Sang Pencipta.


Memaknai 27 Rajab bisa ditarik ke berbagai hal, meski biasanya utamanya adalah perintah Shalat, dan dari situ berbagai turunannya menjadi pelajaran bagi kita. Tentu, di luar itu masih banyak hal lain, selain seperti yang telah disebutkan di awal, juga bagaimana kondisi masyarakat Mekkah saat itu saat mendengar kabar ini. Bagaimana respons para sahabat, respons mereka yang memusuhi Nabi, serta masyarakat lainnya.


Selamat memaknai 27 Rajab, semoga kita makin paham dan menikmati "mi'raj" kita.

No comments: