Ilmu Udara, Ilmu Ruang

Mbah Nun di dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Markesot Bertutur itu pernah menulis tentang Markesot yang teringat saat syukuran khitanannya dulu. Berbagai acara digelar, salah satunya peruntujukkan silat yang berkesan buat si Markesot. Ada saat peragaan menggunakan senjata, entah pedang atau apa, ada juga saat peragaan dengan tangan kosong. Nah, lalu Markesot ini kepikiran tentang udara, yang akan aku ceritakan kembali.

Begini, saat peragaan silat itu digelar, tentunya banyak yang dapat diambil ceritanya, hikmahnya, pelajarannya, gerakannya, atau sekadar hiburannya, bergantung apa yang dirimu lihat. Ada yang memakai tombak panjang untuk menyerang, nah tentang ini dia bilang kalau semakin panjang tombaknya, maka semakin lemah ia, karena orang yang lemah, memerlukan alat yang panjang untuk melindungi dirinya, sepanjang jangkauan alat itu. Lain halnya dengan mereka yang bertangan kosong, tangan yang apa adanya. Terus ia bilang tentang udara, nah ini yang menarik buatku.

"Udara itu tidak punya musuh," kata Markesot, "karena pedang yang menebasnya tak sanggup melukainya. Pedang itu gagal menjadi musuh udara." Udara pun ada untuk sekadar berfungsi melayani, bukan untuk menyimpan. Ia hadir lalu memungkinkan makhluk hidup untuk bernapas.

Maka, menarik menjadi seperti udara, ia ada untuk berfungsi, memberikan kebaikan bagi makhluk lain. Ia ada, ia bisa coba kau tebas, kau lukai, kau sakiti, tapi ia tidak akan merasa tersakiti, ia tidak punya musuh. Begitu pula seharusnya kita, meski kena coba orang lain untuk disakiti -entah raga atau batinmu- namun jadilah seperti udara, yang tak merasa tersakiti, melainkan ada untuk memberi kebaikan.

***

Hiduplah seperti udara. Markembloh di lain waktu bilang kalau Markesot ini adalah "manusia ruang, bukan manusia perabot," nah loh, ini apalagi?
"Markesot itu manusia ruang," kata si Markembloh, "dia ruang, bukan perabot. Bukan manusia perabot. Hidup Markesot adalah ruang yang terbuka bagi perabot-perabot. Dia menampung, menyediakan udara dan mempersilakan para perabot bernapas di dalamnya."

Ia juga adalah udara itu sendiri -kini kuceritakan dengan bahasaku apa kata-kata Markembloh-, udara toleran, ia selalu menyisih ketika ada perabot yang butuh tempat. Ia solider. Boleh saja berjuta-juta perabot butuh tempat, ia akan sediakan, ia akan menyisih, tak keberatan.

Menjadi manusia ruang (sesungguhnya manusia sendiri juga perabot), adalah menjadi manusia yang memiliki ruang yang begitu luas bagi "perabot-perabot" lain untuk memiliki tempat di hatinya. Manusia ruang, ia menampung, ia memiliki ruang bagi yang lain, ia menampung kesedihan orang lain, curahan hati dan cucuran air mata orang yang jatuh deras. Ia berbeda dengan manusia perabot, yang tak cukup tempat bagi perabot lain di hatinya, karena hatinya penuh dengan perabot dirinya. 


***

Menjadi manusia dengan ilmu udara dan ilmu ruang adalah menjadi manusia yang tak merasa tersakiti meski dilukai, yang memberi kebaikan bagi yang lain, yang tak memiliki musuh, yang menyediakan ruang bagi yang lain di hatinya, seluas-luasnya dan tidak memenuhi hatinya hanya dengan dirinya sehingga menjadi manusia perabot.



***


Ulasan lebih lengkap dan komprehensif tentunya bisa dirimu baca langsung dari buku Markesot Bertutur yang merupakan (salah satu) kumpulan tulisan Emha Ainun Nadjib.



Udara itu tidak punya musuh, karena pedang yang menebasnya tak sanggup melukainya. Pedang itu gagal menjadi musuh udara.

No comments: