Terkunci

"Apa yang kau cari?"
Tak ada.

"Berminggu-minggu hingga malam hari -bahkan ada peluang hingga berbulan-bulan, lalu kau bilang tak ada yang kau cari?"
Ya. Aku hanya bekerja.

"Hingga sebegitunya? Berdampak pada tubuhmu, kebiasaanmu, pola makan, pola tidurmu, dan banyak hal lainnya.",
Ya. Aku hanya bekerja, selebihnya, di beberapa tambahan, aku katakan pada diriku: ini bentuk sedekahmu.

"Haha. Apa yang kau pikirkan?"
Entahlah, ada yang muncul, 'Hal jaza ul ihsan, ilal ihsan,' dan 'In ahsantum ahsantum lianfusikum, wa in asa'tum falaha.'

(Dia tertawa)
"Kulihat senyum dan gurat sedih, kenapa kau?"
Tiada sedih.
(Aku menghela napas sejenak)

Kau tahu? Setiap ku buka pintuku, yang ada hanyalah kumpulan benda mati, yang tiada bisa diajak berbicara, serta tumpukan buku yang seolah menagih padaku untuk dibaca.
Kau tahu? Begitupun setiap kubuka mataku, itu saja yang kulihat.
Kau tahu? Sehari-hari, meski yang kutemui adalah orang, pembicaraanku hanya tentang pekerjaan. Oh duhai, sesungguhnya dan semestinya hidupku tak sekadar itu, bukan?

"Kau kesepian?"
Tidak. Sepi apa? Sesekali aku hanya ingin membicarakan hal di luar itu.

"Kau mempunyai masalah?"
Tiada di kolong langit ini manusia yang tidak mempunyai masalah, hanya ada perbedaan dalam menyikapi, besar-kecil masalah yang sudah ditakar agar sesuai kapasitas yang diberi masalah.

"Kau tak ceritakan masalahmu?"
Amboi, setiap orang memiliki masalah, lalu kau suruh aku ceritakan masalahmu pada yang lain? Kau tahu, ada dua kemungkinan saat kau ceritakan masalahmu.

Pertama, kau bercerita lalu itu menambah pikirannya, meski entah setelahnya apakah muncul pemecahan masalahnya atau tidak, namun yang jelas itu menambah beban pikirannya.
Kedua, kau bercerita lalu tak betul-betul didengar, ini kesia-siaan sahaja bagiku.

Pesan yang sampai padaku jelas. Jadilah ruang bagi yang lain dan jangan menjadi perabot yang memenuhi ruang. Aku tak bilang telah melakukannya, namun kucoba saat kuingat.

"Kau tahu? Kau lupa satu hal."
Apa?

"Tuhanmu. Pengasuhmu. Pengayommu."
(Aku terdiam. Sungguh atas apa yang kukatakan, ayat-ayatNya sesungguhnya cukup mengunciku, membuatku terdiam, lalu terkadang muncul ingatan akan lebih besar nikmatNya padaku dibanding masalah apapun. Aku terkunci saat akan membantah, ayat demi ayatNya mengunciku.)

"Tak cukupkah Ia bagimu?"
(Aku tertunduk. Diberedel tanya yang telah jelas jawabannya bagiku. Aku merinding.)

"Kau hanya tak sungguh-sungguh mendekat padaNya. Iyya kana'budu wa iyya kanas'tain mu tak sejati."
(Aku terhenyak. Aku tak bisa membantah. Aku terkunci. Tiada ruang bagiku untuk menyangkal.)

"Padahal telah Ia katakan: Allah Ash-shomad."
(Aku tak bisa lagi berkata. Terkunci)

"Padahal telah Ia katakan: Qolu fa-inni qarib. Ujibu da'watad da'i idza-da'an."
"Ia katakan pula: ud'uni astajib lakum."
"Kau tak sungguh-sungguh."
(Aku gontai, rontok, ambruk. Sesungguhnya hanya Ar-Nashir yang mampu menolongku, dan pada malam-malam itu, aku hanya berharap Dia tanamkan ketenteraman, menyemaikan ketenangan, serta memberikan kejernihan padaku).







***

-Jakarta, 12 Februari 2019

No comments: