Man Salaka Thariqan..

Aku lagi takjub betul sama kondisi sekarang, aku kini lihat para pemuda ramai betul ikut kajian, berduyun-duyun datang ke masjid-masjid, dari yang masih usia sekolah, kuliah, atau sudah kerja. Kata "hijrah" menjadi begitu populer beberapa tahun ke belakang, komunitas-komunitas pun juga hadir sebagai pengikat dalam kebaikan mereka lepas kajian yang diikuti. Tren yang menarik.

Aku takjub betul lihat di Bandung, kota asalku itu, mungkin jadi salah satu pelopor semaraknya para pemuda ikut kajian, kepengin "hijrah", maka di Bandung ada yang namanya Pemuda Hijrah yang kalau menurutku menjadi salah satu pelopor. Aku juga takjub lagi sama masjid-masjid yang kini semakin ramai, aku sebut misalnya Masjid Agung Trans Studio Bandung, masjid yang ada di kompleks Trans Studio Bandung ini menjadi salah satu pusat kajian di kota ini, setiap hari dari mulai pagi hingga malam selalu ada kajian, tentunya dengan berbagai tema, komunitas atau institusi yang menyelenggarakannya serta tentu saja para Ustadz atau Kiai yang mengisi kajiannya. 

Kejadian ini memang menarik, bagaimana misalnya hafal surat "Ar-Rahmaan" menjadi keinginan, kepengin punya suara yang bagus ditambah hafalan yang mumpuni kayak Muzzammil Hasballah atau Fatih Seferagic menjadi dambaan. Jadi sekarang ternyata ganteng saja tidak cukup, tapi kalo ganteng terus suaranya bagus kalau lagi baca Al-Quran apalagi kalau punya hafalan Al-Quran, wuih langsung jadi keren. Terkesan timbul kesadaran semacam, "buat apa ganteng kalo di akhirat ga nyampe Surga," atau sejenisnya lah yang intinya kesadaran akan hal-hal akhirat ini menjadi tumbuh dan penting. Menarik sekali.

Aku ingat betul betapa malunya saat dulu sedang asik scroll atas-bawah di Instagram terus lihat post temanku yang beres ikut kajian, malam-malam pula, deg rasanya, "Masya Allah, Alhamdulillah." Malu betul aku, di saat aku sedang santai-santai, lha temen-temenku ini baru beres ikut kajian, kepengin hijrah katanya.

Para "hijrah-wan" (oke ini istilahku sendiri, agak ngaco memang) ini yang menarik, dakwah itu, mengajak kepada kebaikan itu, di zaman sekarang ini perlu kreativitas tinggi. Semisal ada semacam level orang ikut kajian atau tertarik untuk kembali menerapkan nilai-nilai Islam, maka pada tingkat yang atas ada orang-orang yang sudah terbiasa ikut kajian, dengan bahasan yang kadang agak berat, tapi intinya sudah rutin menghadiri majelis-majelis ilmu tanpa terlalu melihat siapa yang mengisi (ya tapi tentunya yang mengisinya juga yang betul-betul kompeten), di tingkat lebih bawahnya ada mereka yang senang ikut kajian tapi masih lihat-lihat siapa Ustadz / Ustadzah nya, apa temanya dan lain-lain, ini tipe-tipe kondisional. Di bawahnya lagi ada yang kurang tertarik ikut yang begitu, kalau datang juga sesekali, itu pun karena diajak temen, kalau nggak diajak ya nggak tertarik, nah yang begini ini yang punya potensi tapi perlu diajak. Di bawahnya lagi ada yang boro-boro ikut, shalat fardhunya tepat waktu atau nggak bolong-bolong pun sudah syukur. Nah di yang dua terakhir ini yang belum banyak Ustadz yang masuk ke sana, tapi ya itu dulu sih, sekitar dua tahun ke belakang, kita bisa temukan juga Ustadz yang ikut turun untuk masuk ke sana.

Nah dakwah itu perlu kreativitas, aku sering lihat para "hijrah-wan" ini kemampuan dan kreativitasnya ciamik sekali, jago fotografi, jago desain, jago ambil video, editting, bikin konten menarik dan sebagainya. Kemampuan-kemampuan yang mereka miliki sebelum "berhijrah" ini menjadi modal yang baik untuk dakwah, untuk mengemas dakwah dengan lebih menarik dan kreatif. Misalnya ya lewat video kah, poster, kaos dan sebagainya, kreatif sekali. Inilah yang dibutuhkan, selain tentunya ilmu yang mencukupi. Dulu itu menurutku kajian-kajian itu ya isinya tentu berbobot, menarik, namun pengemasannya kurang menarik, nah sekarang jauh lebih menarik.

Aku takjub (lagi) dengan foto-foto yang beredar beberapa bulan yang lalu, yakni foto-foto kajiannya Pemuda Hijrah dengan Ustadz Tengku Hanan Attaki. Ya gimana aku nggak takjub kalo lihat Masjid Agung Trans Studio Bandung itu jamaah di majelis ilmunya meluber hingga luar masjid, hingga perlu ada layar untuk bisa ikut kajiannya, yang shalat pun mesti di luar mesjid karena penuhnya. Begitu pula saat ada foto ketika Shalat Tarawih di Masjid Al-Lathiif (Bandung) yang juga meluber hingga keluar. Kalau isinya bapak-bapak atau ibu-ibu ya masih ngerti aku, lha ini isinya para pemuda semua, malam-malam lebih memilih shalat bersama, sujud bersama, dengerin kajian bareng ketimbang main sana-sini, Masya Allah...

***

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga."

(HR. Muslim, no. 2699)

Akhir-akhir ini, aku sesungguhnya lagi terngiang-ngiang hadits ini, mengapa? Soalnya sering disampaikan Mas Salim A. Fillah di kajian-kajiannya atau tepatnya di video kajian yang saya lihat. Hal ini sering beliau bahas karena sekarang ini, mengakses kajian sangat mudah: buka Youtube, cari tema atau kajian Ustadz tertentu, sekali klik atau tap bisa langsung lihat. Tapi, menurutnya, ada berkah yang  berkurang, bukan dari videonya, tapi dari kolom komentarnya yang memperdebatkan yang tidak perlu, yang keluar kata-kata tidak perlu. Maka, kajian daring alias online atau digital ini bukan tidak boleh atau tidak bagus, hanya saja tetap tidak bisa menggantikan hadir di majelis ilmu secara langsung.

Karena, seperti hadis di atas, akan Allah mudahkan jalan menuju Surga bagi mereka yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, melangkahkan kaki dan dirinya ke sana. Ada perbedaan ketika hadir di majelis ilmu, suasanya berbeda, ada berkah di dalamnya, kita melihat langsung bagaimana Ustadz nya berbicara, tersenyum, tertawa, juga para jamaah yang lain. Majelis-majelis ilmu pun dihadiri oleh para malaikat yang menaungkan sayapnya, mencatat siapa-siapa saja yang hadir di sana, bahkan turut mencatat siapa yang tidak berniat untuk hadir tapi cuma numpang sebentar di sana, atau bahkan yang baru datang dan cuma kebagian kata-kata akhirnya pun dicatat sebagai kebaikan, dimohonkan ampunan atas dosa-dosanya. Maka duduknya kita di majelis ilmu, entah itu cuma sebentar, atau bahkan hanya awalnya numpang shalat atau numpang duduk, bisa jadi kebaikan juga, belum lagi kalau diamalkan apa yang didapat di majelis ilmunya. Rajinnya ikut dalam majelis ilmu pun semoga diiringin dengan rasa tawadhu', rendah hati, bukan sebaliknya, merasa lebih baik dari mereka yang tidak ikut, karena yang begini, kata-kata semacam ini adalah kata-kata Iblis saat menolak sujud menghormati Adam, "Ana khairu minha (aku lebih baik darinya)." Tetaplah kita berhati-hati, tetap tawadhu.

Hadits tentang keutamaan mencari ilmu ini seyogyanya bisa menjadi tambahan motivasi untuk hadir dalam majelis-majelis ilmu, untuk mereguk ilmu, menadah berkah, memohon ampun. Lalu selepasnya jadilah para hamba-Nya yang menebar cinta dan kebermanfaatan bagi sesama. 


No comments: