Satu Detik dari Bumi ke Langit

Malam ini tanpa diniatkan, kutemukan satu unggahan di media lain yang berisi kutipan percakapan seseorang dengan Ali bin Abi Thalib radiyallahu'anhu, isinya begini

Ada orang yang bertanya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, “Berapa lama perjalanan dari Masyrik (Timur) ke Maghrib (Barat)?”
Dengan cepat beliau menjawab, “Sehari bagi matahari.” 
Lalu orang itu bertanya lagi, “Berapa ribu tahun perjalanan pulang pergi dari bumi ke langit?” 
Lalu jawab beliau, “Hanya satu detik saja bagi doa yang mustajab.”
Kutipan percakapan singkat yang saya lupa mencantumkan sumbernya ini menunjukkan kecerdasan menantu Rasulullah sekaligus khalifah keempat ini. Selain itu, yang paling menarik tentu jawaban dari pertanyaan kedua, "Hanya satu detik saja bagi doa yang mustajab."

Mustajabnya doa barangkali jadi dambaan banyak orang. Bila menggunakan kata lain, maka "terwujudnya keinginan" adalah dambaan banyak orang, meski keinginan itu baik atau tidak, tepat atau tidak, dan seterusnya. Kita bisa jadi makhluk yang banyak keinginan, wajar, namanya juga manusia. Tuhan dalam kitab-Nya juga berfirman, "...Berdoalah pada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..." atau di bagian lain, "...Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,..."

Membaca dua ayat demikian mestinya cukup memberikan keyakinan bahwa apa yang dipintakan akan dikabulkan/diperkenankan. Dua ayat itu pun jangan dipakai untuk kurang ajar atau "kurang ajar" pada Tuhan dengan menagih, "Loh katanya bakal mengabulkan, loh mana?" Lah ya terserah Tuhan dong mau dikabulkan kapan atau bagaimana bentuknya, terlebih sampai riwayat pada kita bahwa setiap doa sejatinya dikabulkan dengan wujud salah satu dari tiga hal.

Pertama, doamu diperkenankan sesuai apa yang kamu pintakan. Kedua, disimpan untuk si pendoa untuknya di akhirat. Ketiga apa yang kamu pintakan diganti dengan sesuatu hal yang lebih baik --tentu saja dalam pandangan-Nya. "Masalahnya" kita tidak tahu bentuk yang mana yang Dia berikan untuk kita. Namun, semestinya manapun bentuknya tentu menjadi kebaikan bagi kita. Semestinya tidak ngotot untuk berharap agar yang dipinta itulah yang diperkenankan langsung, semestinya demikian bila kita yakin apa yang Dia beri adalah semata kebaikan bagi kita. Tuhan sudah ingatkan pada kita, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." Nah, telak kan, Dia mengetahui, kamu ya tidak lah, makanya jangan ngotot dengan usil, "Ya Tuhan, please deh kabulkan!"

Soalan doa, Sa'ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Rasulullah saat meminta agar doa-doanya dikabulkan. Mendengar hal ini, Rasulullah berkata agar "membantunya" dengan memperbaiki makanannya. Ternyata soalan doa juga berkaitan dengan makanan, perut mesti hanya diasupi oleh yang halal --juga usahakan thayyib-- , jauh dari yang syubhat alias meragukan apalagi yang haram. 

Tentu saja perihal keinginan atau doa ini tidak mesti ribet-ribet tapi tentu saja tetap menjaga adab pada Yang Maha Mengkabulkan. Toh Dia sejatinya selalu memberi bahkan apa yang tidak kita pinta. Berdoa juga perlambang ketidakberdayaan kita sebagai makhluk di hadapan Sang Khalik, ia juga cakap mesra dengan-Nya yang kadang diiringi tangis harap, syukur, dan mohon ampunan. Berdoalah atas berbagai hal, bincang mesra agar selalu merasa mendekat dan merasa kehadiran-Nya.

Selamat berdoa, dan omong-omong soal doa, satu bait terakhir di puisinya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Dalam Doaku menjadi salah satu bait puisi kesukaan saya,

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
      mendoakan keselamatanmu

No comments: