Runniversarry: A Moment to Remember

...doa saya semoga saya berada di peran yang tidak terlihat dari permukaan, yang tersembunyi di balik tirai, yang melihat riuh-rendah hingar-bingar di luar, lalu saya kembali mencari sunyi, terus berlari.


A moment to remember.

Juli 2016, selepas Idul Fitri dan kembali ke Bandung dari perjalanan mudik, memutuskan untuk memulai merutinkan olahraga. Alasannya sederhana saja saat itu, teman-teman seangkatan sudah banyak yang lulus, maka otomatis futsal pun sudah menjadi kesempatan langka. Lalu, apakah olahraga sederhana dan tanpa biaya besar yang bisa dilakukan sendiri? Lari!

Tapi saya tidak punya sepatu lari, mau beli pun uang belum tentu ada, kalau ada pun saya ingat pernah bilang begini, "Rutinin dulu aja, kalau udah rutin baru beli. Sayang kalau udah beli tapi gak rutin, mubazir sepatunya." Berkebalikan dengan pendapat, "Beli dulu biar termotivasi!"

Saya mencari sepatu di rumah, lalu menemukan entah sepatu lari atau sepatu olahraga, entah, yang jelas sol bawahnya sudah begitu tipis, berwarna merah, yang setiap lari melewati jalan berkerikil akan sangat terasa menusuk telapak kaki.

Jarak awal lari saya adalah dari rumah ke jalan raya terdekat, yang ternyata kini saya ketahui hanya berjarak 1 kilometer saja. Beberapa hari itu saya hanya berlari 1 kilometer saja, atau paling maksimal 1.5 kilometer yang diakhiri beli sorabi sekalian buat bapa-ibu.

Pencarian dimulai, saya ingat kalau mencari sesuatu maka "Kaskus" justru yang pertama muncul, nemu informasinya, nemu ini-itu juga di internet. "Okay, let's do this!"

Mulailah saya berlari berdasarkan waktu, saya ingat saya mencoba berlari 20 menit tanpa memikirkan jarak, lalu meningkat 30 menit hingga akhirnya bermain dengan jarak.  Aplikasi Endomondo mencatat untuk pertama kalinya saya lari dengan tracker adalah sejauh 4.29 kilometer dengan waktu 30 menit 22 detik (pace 7:04 min/km), tepat hari ini tiga tahun yang lalu, 26 Juli 2016.

Teruslah saya berlari, 4 km, 5 km, 6 km dengan pace 6:40an hingga 7:20an min / km. Hingga akhirnya 14 Agustus 2016 saya mencoba race pertama, Circle K Run 2016, start dan finish di Balaikota Bandung. Lalu saya ingat saya tidak punya sepatu yang memadai, akhirnya memutuskan ingin beli. Saya ingat waktu itu bapa bilang agar pake sepatu yang ada saja alias sepatu tipis itu. "Enggak", saya bilang dalam hati. 

Beberapa waktu kemudian lalu memutuskan beli sepatu, Specs Road Runner, 300 ribuan, jumlah yang besar bagi saya waktu itu, meski akhirnya ibu seperti biasanya gak tega sama anaknya, membantu membayar sebagian dari harga sepatu.
Saya ingat betul senang bukan main punya sepatu lari betulan, empuk, enak (meski ternyata ya ga seempuk merk luar).

Di lomba, saya ambil jarak 5K, di hari-H, saat rute antara 10K dan 5K berpisah, saya membatin, "Hebat mereka udah bisa 10K, entar juga harus bisa!"

Hasil lomba? Endomondo mencatat jarak 4.76 kilometer yang saya tempuh selama 27 menit 54 detik dengan pace 5:51 min/km. Kaget bukan main, ngos-ngosan karena tertarik pelari lain (yang acapkali terjadi saat lomba) pun terbayar, meski tidak mendapat finisher medal yang terbatas sekali, gagal, saya tidak dapat finisher medal pertama di situ.


Semenjak itu saya semakin rutin berlari, 2-3 kali sesi per minggu. Berlari menjadi alternatif yang menyengangkan di tengah proses pengerjaan skripsi. Saya rutin berlari di Gasibu atau Saparua selain di sekitaran rumah. Beberapa lomba diikuti bahkan sempat ikut lomba di Jakarta, Oktober 2016 saat Midtrans Run 2016.

18 Agustus 2016, berhasil tembus satu jam pertama kalinya. Jarak 9 kilometer dengan waktu 1 jam 1 menit 58 detik, pace 6:53 min/km. Dua hari kemudian berhasil menempuh 10K pertama (tepatnya 10.22 kilometer) dengan waktu 1 jam 12 menit dengan pace 5:54 min/km. Senang. Lelah. Tidak menyangka.

Lari dan proses skripsi berjalan beriringan saat itu hingga November 2016 mengharuskan berhenti lari sejenak karena proses skripsi sedang genting-gentingnya. Memang bukan sekali itu saja sempat berhenti, beberapa bulan kemudian pernah berhenti lari, salah satunya setelah pindah sementara di Jakarta karena urusan kerjaan, 14 Mei 2017.

Milo Jakarta International 10K menjadi lomba lari pertama setelah kerja. Beberapa waktu sebelumnya sempat merasakan perbedaan lari di Jakarta dan di Bandung. Jakarta gerah, panas, lari mesti lebih pagi agar masih segar, berbeda dengan Bandung yang anginnya pun sejuk cenderung dingin.

31 Maret 2018, untuk pertama kalinya menempuh jarak Half-Marathon alias 21.2 kilometer dari rumah. Self-support, dalam arti bawa minum dan perbekalan sendiri. Saya ingat, saat itu saya membawa minum satu botol air mineral, beberapa kurma serta beberapa potong kecil gula merah yang lalu ditambah satu botol Pocari Sweat di perjalanan. Ribet.

Kilometer 8-9, kaki terasa tidak enak namun terus dilanjut dan masih kuat hingga kilometer 18-19, dua kilo terakhir, kaki mulai terasa berat, beberapa kali jalan, lari, jalan, lari hingga finish setelah mungkin 1-2 keliling di Gasibu. Pegal, namun senang bukan main, behasil mengalahkan diri sendiri, lebih baik, "Beat Yesterday" kalau kata Garmin.

Terus berproses, terus bergerak.
Tiga tahun berlalu, barangkali bukan waktu yang lama untuk hal ini. Saya melihat perubahan tren.
Awal-awal lari, 2016-2017, lari belum menjadi tren seperti sekarang, menunggah hasil lari di feed Instagram pun kadang canggung, ketemu teman saat itu responnya, "Lari wae euy," yang terkesan senada dengan "Lari terooooosss!"

Hingga akhirnya 2018-2019 saya tertawa, loh feed dan story Instagram mulai rame dengan update-an lari, "Ya baguslah," saya bilang. Tentu saja alasan orang berlari mungkin berbeda-beda, namun teruslah bergerak, berproses.

Bagi saya, tiga tahun ini bukan waktu yang lama namun juga enggak singkat-singkat amat. Saya minderan, saya bukan orang berprestasi ini-itu, IPK tidak sampai tiga, sempat timbul-tenggelam di organisasi, saya tidak bisa menginisiasi gerakan ini-itu untuk berkontribusi kepada masyarakat, saya bukan orang yang bisa menginspirasi, saya bukan orang yang 5-10 tahun lalu masih haha-hihi atau biasa-biasa saja lalu sekarang begitu produktif dan berdayaguna, saya masih saya yang biasa-biasa saja dan melakukan hal yang juga biasa-biasa saja, yang penting saya deket sama ibu-bapa. 

Namun, berlari menjadi hal yang begitu saya syukuri, bahwa meski saya tidak bisa melakukan ini-itu seperti yang saya sebutkan, setidaknya ada satu hal baik yang saya masih konsisten dan terus berusaha konsisten. Bukan untuk orang lain (karena nyatanya banyak teman saya yang memulai lari tidak lebih lama dari saya namun lebih kencang, lebih jauh, lebih rajin), namun pembuktian untuk diri sendiri, "Hai! Kamu punya loh hal baik yang kamu kerjakan dengan konsisten!"

Memang, berlari bukan hal yang 'wah', namun setidaknya setiap saya pulang ke rumah, memandangi medali-medali penamat dari lomba yang menggantung di kamar, saya senang telah dan akan terus berproses, meski lambat, meski sejengkal, meski tergopoh, meski hanya ini, namun terus bergerak.

Saya meyakini setiap orang memiliki peran masing-masing di dunia, mungkin ini salah satu ciri peran saya di gedebugnya dunia. Pun semisal suatu saat saya punya peran untuk berkontribusi, doa saya semoga saya berada di peran yang tidak terlihat dari permukaan, yang tersembunyi di balik tirai, yang melihat riuh-rendah hingar-bingar di luar, lalu saya kembali mencari sunyi, terus berlari.

Siapa sangka kan? Hal sesederhana lari bisa berarti banyak untuk seseorang.


Happy Runniversary!

No comments: